Sekira
tiga ratus tahun lampau, tempat candi ini berada masih berupa hutan
belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk
pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama
karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang biara di
Budur. Kemudian pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) ada berita
tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang
tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada
tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta,
yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria
yang terkurung dalam sangkar. Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford
Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang
dipenuhi dengan batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles
mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk
membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan
bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin jelas dan pemugaran
dilanjutkan pada 1825.
Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.
Mengenai
nama Borobudur sendiri banyak ahli purbakala yang menafsirkannya, di
antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur
berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk
pada nama tempat. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF.
Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas
sebuah bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti
Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu
Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824
Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra.
Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang berarti
tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya.
Bagaimana pergeseran kata itu terjadi menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.
Dalam
pelajaran sejarah, disebutkan bahwa candi Borobudur dibuat pada masa
Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja
Samarotthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan
masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun
847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh
seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang
sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman
sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana.
Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang
bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya,
Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Sebelum
dipugar, Candi Borobudur berupa reruntuhan seperti halnya
artefak-artefak candi yang baru ditemukan sekarang ini. Ketika kita
mengunjungi Borobudur dan menikmati keindahan alam sekitarnya dari atas
puncak candi, kadang kita tidak pernah berpikir tentang siapa yang
berjasa membangun kembali Candi Borobudur menjadi bangunan yang megah
dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini.
Pemugaran
selanjutnya, setelah oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen
Hatmann, dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp yang membangun
kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman
sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik
bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu, tetapi kemudian
tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur,
mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk
itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India.
Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak
stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi
Borobudur. Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya ditemukan
oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma
dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula bercampur
dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh sebab itu, para pemugar harus
memiliki sekelumit sejarah agama ini di Indonesia. Penelitian terhadap
susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan
waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan
bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya
antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara
geografis berada pada satu jalur.
Materi candi
Candi
Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di
Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir. Luas
bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu,
dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X
15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat
keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur
dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu
rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel
masing-masing 2 meter. Jadi kalau rangkaian relief itu dibentangkan
maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada
sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10
berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi
berjumlah 504 buah. Sedangkan, tinggi candi dari permukaan tanah sampai
ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter
setelah tersambar petir.
Menurut
hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von
Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya
pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan
dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia
membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan
piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang
ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa
juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur.
Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan
bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa.
Berbeda
dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko
Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida
Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah
dan negara manapun, termasuk di India. Dan itulah salah satu kelebihan
Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.
Melihat
kemegahan bangunan Candi Borobudur saat ini dan candi-candi lainnya di
Indonesia telah memberikan pengetahuan yang besar tentang peradaban
bangsa Indonesia. Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam usaha
rekonstruksi Candi Borobudur yang dilakukan oleh Teodhorus van Erp.
Kita patut menghargai usaha-usahanya mengingat berbagai kendala dan
kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini.
Sampai
saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar
berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara
mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah
batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih berupa
bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu
sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu
itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang
dipergunakan? Mengingat pada masa itu belum ada gambar biru (blue
print), lalu dengan sarana apakah mereka itu kalau hendak merundingkan
langkah-langkah pengerjaan yang harus dilakukan, dalam hal gambar
relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu
dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian
mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas?
Dan masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmu
pengetahuan, terutama tentang ditemukannya ruang pada stupa induk
candi.
Restorasi di tahun 1974-1983
Harta karun
Pemugaran
selanjutnya dilakukan pada tahun 1973-1983, selang 70 tahun dari
pemugaran yang dilakukan van Erp. Pemugaran ini dimaksudkan tiada lain
sebagai upaya melestarikan budaya yang tak ternilai harganya. Inilah
“harta karun” yang sesungguhnya tak bisa dihargai dengan uang apalagi
dijual untuk membayar utang. Kesadaran masyarakat untuk ikut mengamankan
bangunan candi sangat diharapkan termasuk juga dari para wisatawan.
Penggalian,
penelitian, dan rencana pemugaran terhadap candi-candi atau
benda-benda bersejarah lainnya yang baru-baru ini ditemukan tentunya
membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pemugaran bangunan
budaya dan kepurbakalaan tidak semudah pembangunan gedung modern.
Setiap bentuk bangunan budaya memiliki makna yang khusus dan hal ini
tidak dapat diabaikan di dalam pemugaran bangunan kuno tersebut. Oleh
sebab itu butuh dukungan dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun
dari luar negeri. Upaya membangun kembali sebuah simbol-simbol
peradaban yang pernah hilang berarti semakin membuka mata-hati kita
tentang sejarah peradaban manusia Indonesia yang kaya dengan ilmu
pengetahuan dan budaya. Dengan demikian, kita akan menjadi manusia
berbudaya yang mampu menghargai budayanya sendiri sebagai bentuk jati
diri dan identitas bangsa yang mandiri.
Akhirnya,
kita harus membangkitkan kembali gairah menghargai benda-benda cagar
budaya yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat dan bangsa,
melainkan juga menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang akan terus
mengungkap fakta-fakta sejarah itu. Menikmati keindahan dan menjaga
kelestariannya merupakan salah satu bentuk kepedulian yang sangat
berarti. Tentunya peran lembaga yang berkaitan dengan perlindungan
benda-benda cagar budaya perlu ditingkatkan dengan memberikan pemahaman,
pengertian dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga dan melestarikan
benda-benda tersebut.
Perlindungan
hukum pun harus ditegakkan secara konsisten sehingga tidak terjadi
lagi kepincangan-kepincangan hukum yang menyisakan rasa ketidakadilan
bagi masyarakat, seperti halnya kasus peledakan Candi Borobudur pada
1983.***
Tetap menjadi suatu misteri,sekedar tambahan candi
Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia dengan tinggi 34,5
meter dan luas bangunan 123 x 123 meter. Di dirikan di atas sebuah
bukit yang terletak kira-kira 40 km di barat daya Yogyakarta, 7 km di
selatan Magelang, Jawa Tengah.
Candi
Borobudur dibangun oleh Dinasti Sailendra antara tahun 750 dan 842
Masehi. Candi Buddha ini kemungkinan besar ditinggalkan sekitar satu
abad setalah dibangun karena pusat kerajaan pada waktu itu berpindah ke
Jawa Timur.
Sir Thomas Stanford Raffles menemukan Borobudur pada
tahun 1814 dalam kondisi rusak dan memerintahkan supaya situs tersebut
dibersihkan dan dipelajari secara menyeluruh. Proyek restorasi
Borobudur secara besar-besaran kemudian dimulai dari tahun 1905 sampai
tahun 1910 dipimpin oleh Dr. Tb. van Erp. Dengan bantuan dari UNESCO,
restorasi kedua untuk menyelamatkan Borobudur dilaksanakan dari bulan
Agustus 1913 sampai tahun 1983.
Namun,
sampai sekarang Candi Borobudur masih menyimpan sejumlah misteri.
Sejumlah misteri itu misalnya, siapa yang merancang Candi Borobudur,
berapa jumlah orang dipekerjakan untuk membangun candi tersebut, dari
mana saja batu untuk membangun candi ? Filosofi apa yang digunakan
untuk membuat candi tersebut ? Tetapi yang pasti candi ini merupakan
aset penting bagi Indonesia di mata dunia internasional. Kita harus
bangga dan selalu menjaga kelestariannya.
sumber : http://misteridunia.wordpress.com/2008/09/21/candi-borobudur/
No comments:
Post a Comment